Akhir-akhir ini saya sedang baca beberapa buku, karena emang pada dasarnya suka aja baca buku secara random. Jadi, ga nunggu satu buku selesai, tapi sambil menyelami bacaan lain. Salah satu buku yang menarik adalah “Seni Tinggal di Bumi”, ditulis oleh Farah Qoonita atau biasa disapa Teh Qoonit. Buku tersebut berisi tentang catatan yang ditulis oleh Teh Qoonit untuk Self Improvement dengan cara Islami.
Awalnya, saya kira isi bukunya seputar tahapan atau cara gimana tinggal di bumi sebagai muslim. Tapi, ternyata berisi seputar hikmah, tulisan sejarah, biografi tokoh islam yang ditulis sedemikian rupa menarik dan menyentuh. Beberapa kali, ketika saya membaca di keheningan, berhasil menampar dan menyadarkan dari hikmah-hikmah yang telah dirangkum. Memang, antar bab nya tidak saling berkaitan satu sama lainnya, jadi buku tersebut bisa dibaca, baik dari depan, tengah atau belakang.
Salah satu bab yang sangat menarik bagi saya yaitu “Karya segenggaman Tangan”, ya, yang akan saya angkat pada tulisan kali ini. Bab tersebut diawali dengan penjelasan sebuah teknologi yang luar biasa yang diciptakan oleh Allah SWT dan tidak ada tandingannya yaitu tangan. Dari teknologi tersebutlah muncul karya besar, ilmu pengetahuan yang luar biasa dan bisa berguna sampai saat ini.
Pada zaman dulu, ulama menggunakannya untuk menulis ratusan hingga ribuan kitab yang memenuhi rak-rak perpustakaan. Berbagai hikmah disampaikan dengan baik pada buku tersebut, seperti Imam Bukhori yang rela berjalan ratusan kilometer untuk mengumpulkan hadits dan menggunakan tangannya untuk menulis. Gurunya, Ubaid bin Yai’isy selama kurun lebih dari 30 tahun tangannya tidak pernah digunakan untuk makan malam karena digunakan untuk menulis hadits. Beliau memikirkan cemerlangnya pengetahuan dengan tulisan dan karya yang dibuat, hingga saudari perempuannya yang menyuapinya untuk makan malam.
Ibnu Manzhur, di tengah sibuknya menulis, beliau selalu meletakkan bejana berisi penuh dengan air. Tujuannya, agar ketika mengantuk beliau segera tersadar dengan percikan air, agar karya tulisnya bisa segera selesai. Para ulama tidak pernah berhenti mengeluh dengan berbagai keterbatasannya, seperti Abu Sa’d As Sam’ani yang produktif menulis meskipun sepuluh jarinya telah diamputasi karena penyakit. Beliau dengan susah payah menggunakan telapak tangan dan kakinya agar bisa menulis di kertas.
Banyak karya yang luar biasa, yang tidak pernah kita bayangkan ketika karyanya melampaui jumlah usianya. Ibnul Jauzi yang memiliki karya 500 kitab, selama 89 tahun hidupnya. Bahkan, karya Ibnu Taimiyah sudah tidak terhitung lagi jumlahnya yang menyebar ke seluruh penjuru dunia. Para ulama tersebut tahu betul bagaimana cara menggunakan teknologi yang telah dianugerahkan, yaitu tangan. Walau keadaan mereka serba susah, tetapi mampu melahirkan karya yang megah untuk memajukan peradaban.
Sekarang, gimana dengan kita (saya)?
Laptop canggih, software mumpuni, fasilitas lengkap, apa yang sudah dihasilkan? Tulisan tersebut berhasil menampar saya untuk mencoba lebih produktif dan bermanfaat lagi. Banyak tulisan, tugas, pekerjaan yang terbengkalai dengan berbagai alasan yang sebenarnya tidak masuk akal. Di bulan Ramadhan ini, momen yang penting untuk kita kembali fokus dan disiplin, karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Kutipan penting diakhir bab yang semoga selalu bisa menjadi reminder bagi kita,
“Ternyata berkarya bukan tentang seberapa lengkap fasilitas yang kau miliki. Bukan tentang seberapa mahal peralatan yang kau punya. Ini tentang paduan keimanan, yang terpadu dalam ketaatan. Seberapa kuat ia menggebu untuk mampu bermanfaat bagi sebanyak mungkin manusia.”
Farah Qoonita – Seni Tinggal di Bumi