Muslim Produktif

Muslim Produktif – Hubungan antara Produktivitas dengan Keimanan

Beberapa bulan lalu, sebenarnya saya telah selesai membaca buku Muslim Produktif, cuma baru hari ini ada kekuatan besar yang mengalahkan kemageran buat nulis. Buku tersebut aslinya berjudul Productive Muslim dalam bahas inggris yang ditulis oleh Mohammed Faris, pendiri website https://productivemuslim.com/ yang berfokus pada pembenahan diri seorang muslim untuk menjadi produktif dan melatih kebiasaan baik. Penulis buku tersebut juga pernah dinobatkan sebagai salah satu pemuda muslim yang berpengaruh di dunia.

Semua muslim pastilah sepakat bahwa manusia paling produktif sepanjang masa adalah Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wassalam. Beliau Rasulullah merupakan pemimpin negara, panglima perang, menteri keuangan (penjaga baitul maal), guru, kepala keluarga, suami, yang semua perannya dilakukan dengan cara terbaik dan menjadi tauladan buat kita.

Mohammed Faris menjelaskan definisi produktivitas dengan rumus berikut:

Produktivitas = Fokus x Energi x Waktu

Untuk menjadi produktif, manusia harus memiliki 3 unsur berupa fokus, energi dan waktu. Tapi dengan ketentuan dilakukan dalam hal yang bermanfaat dan tujuan yang jelas. Jika kita melihat orang yang sedang bermain game, mereka memiliki fokus, energi dan waktu. Namun, apakah mereka bisa dikatakan produktif? Dalam buku ini, dijelaskan bahwa dalam produktivitas harus ada sesuatu yang bermanfaat yang ingin kita raih, bukan pengejaran tanpa tujuan

Manusia semuanya sama, mempunyai waktu 24 jam, tidak kurang tidak lebih, meskipun menurut teori Einstein kalo waktu itu relatif (tapi ini beda bahasan lagi ya). Ada beberapa orang yang hari-harinya diisi dengan banyak hal yang bermanfaat, ada juga yang cuma rebahan sepanjang hari tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Lalu, apa yang membedakan kita dengan yang lainnya? Apa yang membedakan antara muslim dan non muslim dalam memanfaatkan waktunya?

Ada tiga hal utama yang membedakan produktivitas antara Islam dengan versi barat, yaitu:

  1. Tujuan
  2. Nilai-nilai
  3. Kehadiran jiwa

Temen-temen semua mungkin sudah hafal atau minimal pernah dengan potongan hadits “Seungguhnya semua perbuatan bergantung pada niatnya…….”. Hadits di Arbain Nawawi no 1 ini redaksinya lebih panjang, cuma mungkin populernya seperti itu. Semua hal yang kita kerjakan sesuai dengan niat dan tujuannya, sama halnya beda muslim dan non muslim dalam menjalankan aktivitasnya dijelaskan oleh Mohammed Faris adalah pada tujuan hidupnya.

Tujuan manusia diciptakan di dunia menurut islam adalah untuk menjadi hamba yang beribadah kepada Allah dan menjadi khalifah (wakil Allah di bumi). Sedang tujuan produktivitas versi barat tujuan akhirnya yaitu berupa materialisme seperti terkenal, punya jabatan, jumlah harta, dan lain-lain.

Produktivitas seorang muslim juga harus memperhatikan nilai-nilai yang ada, tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara. Sekeras-kerasnya usaha seorang muslim untuk mencapai tujuannya tidak boleh melanggar nilai yang dilarang syariat. Muslim harus memperhatikan keadilan, kejujuran, amanah, profesionalitas dan nilai-nilai lainnya.

Pada era saat ini menurut Mohammed Faris, dengan berkembangnya revolui industri, banyak manusia yang bekerja semaksimal mungkin untuk mencari kekayaan. Tetapi karena fokus hanya pada materialisme saja, orang akhirnya lupa dan tidak melahirkan jiwa. Islam sendiri memandang bahwa substansi utama adalah pada jiwa dan seharusnya muslim berpandangan bahwa dunia ini hanya sekadar persinggahan kita. Lahirnya jiwa dan menjadikan akhirat sebagai tujuan seorang muslim, akan menimbulkan ketenangan dan melahirkan keseimbangan antara jasad dan ruh.

Mohammed Faris menjelaskan kenapa muslim saat ini tidak bisa berkontribusi penuh dalam konteks peradaban manusia, salah satunya karena kesalahan keyakinan atau belief system. Banyak yang meyakini bahwa seharusnya kita mengabaikan dunia karena doktrin dunia itu hina dan akhiratlah tujuan akhir. Menurutnya benar di satu sisi, tapi cara memaknainya keliru. Mohammed Faris menjelaskan bahwa kehidupan dunia berbeda dengan kata dunia.

kehidupan dunia ≠ dunia

Kata kehidupan dunia biasanya dalam Alquran lebih digunakan untuk sesuatu yang mengarah pada life style, gaya hidup yang beroientasi pada material duniawi. Sedangkan kata “dunia”, banyak ayat-ayat yang bermakna positif, Allah akan memberikan ganjaran terbaik bagi yang memaksimalkan kehidupannya di dunia. Sehingga dari hal tersebut kita harus mampu menyeimbangkan dunia dan akhirat kita.

Sesuai dengan hadits Rasulullah ada 4 Hal utama yang akan ditanyakan di akhirat kelak, yaitu:

  1. Umurnya
  2. Ilmunya
  3. Hartanya
  4. Tubuhnya

Keempat hal tersebut sangatlah berkaitan dengan produktivitas, sehingga jika kita abai apa yang akan kita jawab dihadapan Allah Subhanahu wa ta’ala. Kata produktivitas ini didefinisikan ulang bahwa setiap fokus, energi dan waktu yang tujuannya untuk meraih dan memaksimalkan balasan di akhirat. Poduktivitas ini hanyalah alat untuk mendapatkan keberkahan, dimana tidak ditemukan pada teori produktif versi barat. Keberkahan adalah segala sesuatu yang menghasilkan kebaikan menurut Allah Subhanahu wa ta’ala.

Produktivitas yang dijelaskan buku tersebut dibagi menjadi 3 yaitu:

  1. Produktivitas Spiritual, yang intinya menghasilkan ketakwaan
  2. Produktivitas Fisik, yang dihasilkan dari asupan gizi, tidur yang cukup sehingga menghasilkan kebugaran
  3. Produktivitas Sosial, seorang muslim tidak bekerja sendiri tetapi untuk orang-orang disekitarnya.

Buku ini dengan sangat jelas memberi gambaran bahwa jika kita melaksanakan semua ajaran Islam dengan baik dan benar, maka kita akan menjadi manusia yang produktif.

Akhir kata, saya tutup dengan kutipan dari Guru saya:

“Kata Sholeh berasal dari kata Islah atau perbaikan, sehingga seorang yang sholeh harus senantiasa melakukan perbaikan. Orang yang sholeh apabila diamanahkan kebaikan maka akan segera diselesaikan.”

Ust. Wido Supraha

Loading

Leave a Reply