Hedonic Treadmill? Apa itu?

Pernah ga sih kita pengen banget beli sesuatu sampe kebawa mimpi? Saking pengennya kepikirian terus. Tapi, setelah kita punya barang itu, ternyata cuma sebentar doang senengnya dan ngerasa kalo bahagia ya harus mencapai hal baru lagi. Pada akhirnya, kita ga pernah merasa puas sama yang telah kita capai. Ya, emang pada dasarnya manusia itu ga pernah merasa cukup puas sih, selalu kurang dan ada yang pengen dikejar terus. Salah satu surat di Al Qur’an yang sering saya baca adalah Surat Al Adiyat, terutama di ayat 6 yang relate dengan problem di atas.

Dari yang sudah dipaparkan, bisa jadi kita terjebak dalam “Hedonic Treadmill“, istilah itu muncul diumpamakan kalau kita ngejar kebahagiaan di atas treadmill. Jadi mau lari sekenceng apapun, ya kita tetep di situ-situ aja. Kayak siklus yang ga pernah berhenti ujungnya, sekeras apapun kita ngejar kebahagiaan ya tetep gitu-gitu aja, kayak semu gitu. Pada intinya, hedonic treadmill adalah orang yang berlari dan mengejar sesuatu namun tetap berada di tempat.

Di era media sosial ini, adanya flexing dan lain-lain bisa jadi salah satu sebab hedonic treadmill. Apalagi kalo kita liat apa yang orang lain punya & orang lain capai, kita juga akhirnya pengen dapet hal yang sama. Terus otak kita memproses “ah, kalo aku kayak dia pasti lebih seneng, pasti lebih bahagia”. Tapi, setelah kita ada di titik itu, ternyata masih ada yang kurang juga, masih ngerasa kurang bermakna dan perlu punya hal baru lain yang buat kita bahagia. Siklus itu terus menerus berlanjut, sampe kita ga tau ujungnya dimana dan pada akhirnya ga bahagia juga.

Terus kalo gitu, gimana dong biar bahagia? Kan bahagia ga bisa bertahan selamanya. Sebelumnya, saya pernah menulis artikel tentang “Kapan Bahagia?” boleh tuh diintip. Pertama, mulai tanya ke diri sendiri, apa itu kebahagiaan & makna bahagia itu apa? Fokus aja ke diri kita, jangan menggantungkan kebahagiaan terhadap hal yang ga bisa kita kontrol. Misal, kita posting ke medsos supaya dapet respon & pujian yang menjadi sumber kebahagiaan kita. Hal tersebut mungkin bisa bikin kita bahagia, tapi ya menurut teori hedonic treadmill tadi, kebahagiaan nya ga berlangsung lama.

Kedua, fokus kebahagiaan kita bukan hanya pas dicapai aja tapi selama prosesnya berlangsung. Ibarat naik gunung, ya setiap langkah kecil kita ketika mendaki ambil maknanya, meski pun kadang susah, capek dan hal sulit lain. Jadi kebahagiaan kecil kita selalu bermakna, bukan hanya ketika kita telah mencapai puncak saja. Lagi-lagi hal ini berhubungan erat dengan media sosial yang saat ini berkembang berefek besar terhadap kebahagiaan kita. Ada yang disebut “Gratifikasi Instan”, menurut penelitian rasa puas yang kita dapatkan saat mengumumkan sesuatu hampir sama dengan rasa puas saat sudah mengerjakannya. Efek nya apa? ya kebahagiaan semu, akhirnya kita kehilangan motivasi dan semangat, padahal tujuan kita juga belum tercapai. Pujian yang kita dapatkan dari medsos ibarat air laut yang semakin diminum justru semakin haus.

Ketiga, hidup sesuai dengan kemampuan kita dan penuh rasa syukur. Ketika liat temen atau orang lain mencapai sesuatu dan berpikir “coba bisa kayak dia, coba bisa punya apa yang dia punya”, dan lain-lain maka kita akan terlalu fokus buat bandingin diri kita dengan orang lain. Kita akan terus terjebak dengan rutinitas yang tidak produktif dan menghasilkan karena fokus untuk mengkhayal dan berusaha jadi orang lain. jadi, sudahkah menemukan makna bahagia yang sesungguhnya?

Loading

Leave a Reply